
Banyuwangi, 26 Februari 2025 – Di kaki megah Gunung Ijen, di Desa Tamansari, Banyuwangi, sebuah kelompok perempuan dengan nama yang penuh makna, Dewi Tari, menari bukan di atas panggung megah, melainkan di tengah permasalahan sampah yang kian mencemaskan. Dengan tangan yang tak lelah bekerja, mereka mengelola Tempat Pengolahan Sampah Reduce-Reuse-Recycle (TPS3R), menghadirkan harapan bagi 400 kepala keluarga, pengelola homestay, hotel, hingga wisatawan yang tak henti membanjiri kawasan Ijen.
Fajar Dwi Nur Aji, Pengendali Ekosistem Hutan Muda pada Balai Besar KSDA Jawa Timur, Rabu (26/2/2025) menerangkan, sejak 2024, Balai Besar KSDA Jawa Timur (BBKSDA Jatim) hadir sebagai mitra utama. Tak sekadar mendukung dengan kucuran dana senilai Rp 90 juta, BBKSDA Jatim juga aktif melakukan pendampingan melalui petugas Seksi KSDA Wilayah V Banyuwangi. Bantuan itu diwujudkan dalam pembangunan fasilitas pemilahan sampah, landasan container box, uji laboratorium pupuk organik, hingga pengemasan produk hasil olahan sampah.
Kolaborasi ini semakin kuat dengan keterlibatan LSM peduli lingkungan, yang mengalokasikan Rp 120 juta untuk menghadirkan dua kontainer besar. Kini, kontainer itu berdiri kokoh di atas landasan yang dibangun berkat bantuan BBKSDA Jatim.
Lebih dari sekadar pengelolaan sampah, Dewi Tari dan para petugas BBKSDA Jatim bergerak bersama, turun ke lapangan, berdiskusi dengan warga, dan memantau setiap proses pengolahan. Mereka memastikan bahwa program ini bukan sekadar inisiatif sesaat, melainkan upaya berkelanjutan yang benar-benar mampu mengurangi dampak sampah di wilayah konservasi.
Bangunan pemilahan sampah yang sempat diuji oleh hujan badai beberapa waktu lalu tetap berdiri teguh, menjadi saksi ketangguhan kelompok ini. Dari limbah organik, mereka menghasilkan pupuk berkualitas yang sebagian besar dimanfaatkan warga sekitar. Mereka bahkan tengah merintis budidaya maggot, yang nantinya akan dipasarkan baik dalam kondisi hidup maupun kering—sebuah langkah strategis untuk meredam limbah sekaligus menopang ekonomi komunitas.
Namun, perjuangan mereka masih jauh dari kata selesai. Tantangan terbesar ada pada biaya operasional pengangkutan sampah residu ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) serta strategi pemasaran produk hasil pengolahan sampah. Dengan jumlah sampah yang terus bertambah, kerja keras mereka kadang terasa seperti menimba air di lautan. Untuk itu, dukungan berkelanjutan dari berbagai pihak sangat dibutuhkan—bukan hanya dalam bentuk dana, tetapi juga jejaring dan kebijakan yang berpihak pada pengelolaan sampah berbasis komunitas.
Dewi Tari bukan sekadar kelompok pengelola sampah. Mereka adalah simbol perjuangan masyarakat yang berani bergerak di saat banyak yang memilih diam. Di tengah gemerlap wisata Ijen, mereka membuktikan bahwa perubahan besar bisa dimulai dari langkah-langkah kecil, dari tangan-tangan sederhana yang tak lelah merawat bumi.